Gejolak Hati

Sumber gambar: instagram.com/sedishche

Banyak yang berkata profesiku ini paling nyaman. Hanya tinggal dempul muka, duduk manis di sudut ruangan yang temaram, menanti uang datang padaku.

“Kerjaan lo enak banget sih, Non,” celetuk Ani. “Tinggal duduk di pojokan situ uang udah nyelip aja di mana-mana. Daripada gue yang harus bermulut manis di balik meja bar. Ih, tiap pulang kudu pijat muka tau.” Aku membalasnya dengan tertawa kecil.

“Iya nih, Noni. Suruhlah beberapa dari mereka itu buat datang ke kita. Sepi kali kita ini.” Ega ikut menyeletuk sambil memoles gincu merah di bibirnya yang tebal. Aku menutup rentetan gigi putih yang terlihat karena komentar teman kerjaku.

Aku kembali mendempul wajahku dengan berbagai polesan warna yang tidak terlalu mencolok. Padahal beberapa teman sudah menyarankan untuk mengambil warna yang sedikit mencolok. “Semakin mencolok uang akan datang makin deras.” Begitulah anggapan mereka tentang riasan perempuan malam seperti kami.

Di balik banyaknya teman yang iri dengan posisiku, banyak air tertumpah dari mataku. Terlebih setiap melihat sepasang kain putih yang terlipat rapi di sudut kamar kosku. Entah sudah berapa purnama aku tak menyentuhnya. Hanya remang cahaya bulan yang menorehkan cahaya sendu di lantai kamar yang selalu membuatku merenung.

‘Padahal kamu dulu gak begini kan, Non? Kamu lulusan pesantren, banyak tawaran yang datang untuk menjadikanmu guru juga. Pekerjaan halal. Kenapa harus memilih jalan yang sekarang?’ Perang berkecamuk di dalam batinku.

‘Belum lagi kedatangan Mas Faiz yang dulu kamu idamkan menjadi sosok yang mendampingi hidup. Tak ingatkah betapa kamu menginginkannya?’ Pandangan mata mulai mengabur, air mata menggenangi pelupuk mataku.

‘Dia sudah datang ke orang tua untuk melamarmu. Allah mengabulkan doamu setelah sekian lama. Tapi apa yang kamu lakukan?’ Kenangan pahit sekaligus penyesalan seumur hidup dimulai dari kejadian itu. Memoriku berputar.

“Non, ada lelaki yang katanya ingin melamarmu.” Ibu muncul di pintu kamarku. Aku yang tengah merapikan rambut selesai bebersih badan, menatap wajah perempuan yang membesarkanku tapi tak melahirkanku, dan mengernyitkan kening. “Katanya namanya Faiz.”

Bak anak kecil, hatiku melompat kegirangan. Tapi kenyataan menampar kembali pipiku. Aku baru saja mengetahui bahwa aku bukanlah anak kandung dari sepasang suami istri yang selama ini aku panggil Abi dan Ummi. Mereka mengadopsiku dari sebuah panti asuhan di pinggir kota.

Ketika aku mencari tahu siapa orang tua asliku, mereka maupun pihak panti asuhan tidak mengetahui. Pihak panti asuhan hanya memberikan alamat di mana perempuan yang melahirkanku biasa bekerja, dan itulah tempat aku bekerja setiap malam.

Kenyataan itulah yang membuat pertengkaran hebat terjadi hari ini. Membuat argumen ayah kandungku tak terbantahkan lagi akan keputusanku mencari orang tua kandungku.

“Maaf, Mas. Aku bukan perempuan yang Mas Faiz kenal baik selama ini.” Begitu jawabanku ketika menemui Mas Faiz yang duduk rapi di ruang tamu rumah sederhana Haji Qorib, orang tua asuhku. Mas Faiz terlihat terkaget melihatku.

“Aku pergi.” Aku menutup semua tanya yang timbul dari mimik wajah orang tua asuh maupun Mas Faiz di senja itu. Dengan mengapit sebuah tas selempang sederhana dan tangan kanan yang menyeret tas kotak besar berisi pakaian, aku berjalan keluar rumah sederhana Haji Qorib untuk mencari sosok itu.

***

Bantul, 15 Agustus 2019

Tinggalkan komentar