Taman Tuan Eddy

Diam terpaku. Entah apa yang dia tatap. Angin senja ini sepertinya tidak begitu dingin. Walau gemerisik dedaunan di taman Tuan Eddy tidak begitu ramai, bukan menjadi alasan cuaca dingin membelenggu raganya.

Seorang gadis berambut merah senja mengenakan topi putih berpita hitam tampak berdiri di atas jembatan di taman. Wajahnya tertunduk, tapi masih bisa terlihat jika pipinya bersemu merah. Tatapannya sejurus kemudian berkaca, genggamannya pada sebuah kamera hitam mengerat. Seperti seseorang menahan perih dia gigit bibir bawahnya. Angin menyibak sedikit rambut panjangnya. Terlihat sebutir air mata yang mulai mencoba keluar dari sudut matanya.

“Maafkan aku.” Renald mencoba menguak misteri air mata di sudut mata gadis yang sedaritadi mencuri perhatiannya. “Apakah ada yang menganggumu?”

“Namanya Renald.” Seorang pria paruh baya dengan piyama berwarna abu-abu yang sedikit berkerut sana-sini menguak misteri seorang lelaki di taman saat waktu makan. “Dia bekerja untukku sejak sebulan lalu, setelah kau berkeputusan untuk pergi keluar kota mengejar mimpi anehmu itu.” Nada suaranya sedikit menyakitkan.

“Bukan mimpi aneh, Dad.” Alice mencoba menjelaskan impiannya sambil menyendok tomato basil soup with pesto kesukaannya.

“Kalau bukan mimpi aneh lalu apa?” Nada pria paruh baya di seberang meja seakan ingin merendahkan putrinya. “Kau pulang hanya tak bawa apapun juga. Bahkan seorang pria pun tidak.”

Dad, aku ke sana untuk bekerja, bukan jalan-jalan.” Alice meletakkan sendok sup di tepian mangkok dan menatap ke arah ayahnya yang duduk di seberang meja. Sudut matanya kembali bercahaya, ada setitik air mata yang mencoba keluar lagi dari sarangnya. “Aku mencoba menjadi yang terbaik untukmu, walau mungkin tidak bisa mengikuti jejak suksesmu di dunia bisnis. Tapi setidaknya aku sudah mencoba.” Nadanya bergetar.

“Apa yang ingin kau bicarakan, Alice? Apakah Ayah harus turun tangan untuk masalah itu?” Lelaki paruh baya yang kini menyilangkan kedua tangannya di dada menatap lurus ke arah putri satu-satunya.

“Tuan Eddy, maaf mengganggu,” suara lelaki yang masih terekam jelas di kepala Alice tiba-tiba terdengar di balik pintu ruang makan yang sedikit terbuka.

“Masuk, Renald. Tidak ada hal penting di sini,” nada dingin kembali terdengar dari seberang meja makan. Air mata Alice telah membasahi pipi, bibirnya bergetar.

“Ada telepon dari kedutaan, Tuan.” Tanpa harus menunjukan batang hidungnya, suaranya lembutnya kembali terdengar dari balik pintu.

“Pembicaraan tidak masuk akal ini cukup sampai di sini.” Lelaki yang sedari tadi memporak-porandakan hati Alice menyahut tongkat yang bersandar di samping kursinya dan berdiri perlahan. “Minggu depan Ayah akan mengenalkanmu pada anak kolega perusahaan, jika sampai pada detik itu tidak ada kabar baik dari pengganti posisiku.” Dengan sedikit membungkuk, lelaki yang tidak pernah hangat pada Alice sejak kepergian istrinya itu meninggalkan ruang makan.

Wajah Alice mulai murung sejak pembicaraan dengan ayahnya malam itu. Bukan lagi peluk hangat dan kabar gembira yang dia dapatkan dari sosok ayah sejak kepergian ibunya. Berbagai tuntutan mulai dilayangkan padanya.

Mulai dari pekerjaan yang harus sesuai kemauan sang ayah, dalam waktu dekat haruslah sudah menikah, bahkan suatu ketika kamera kesayangan pemberian ibunya hampir berakhir di pembuangan sampah jika Alice tidak memohon berhari-hari.

“Adakah yang menganggumu, Nona Alice?” Suara pria lembut itu terdengar lagi. Namun, kali ini Alice tidak melarikan diri. Dia menolehkan wajahnya ke arah lelaki yang selalu mencoba ramah padanya. Alice mencoba tersenyum.

“Aku berharap tidak ada, Renald. Namun sayangnya aku tidak pandai berbohong, ya,” suara Alice mulai bergetar.

Angin senja di pertengahan musim semi menyibak rambut merah senja yang sudah mencuri hati Renald sejak pertama kali bertemu. Renald duduk agak jauh dari gadis yang membuat hatinya bergetar hebat.

“Jika memang berat, seharusnya diungkapkan saja semua. Tuan Eddy sangat menyayangi Nona Alice.” Renald mencoba mencairkan suasana. Wajah Alice menengadah ke langit senja, menatap burung yang beterbangan bebas di langit. “Tuan Eddy selalu berharap yang terbaik untuk Nona Alice, bahkan sebelum beliau terlelap, saya selalu mendengar dia selalu berdoa untuk kebaikan Nona.”

Napas Alice terdengar berhembus berat dan panjang. Renald mencoba mencuri pandang. Lagi-lagi sudut mata itu kembali basah. Ada sakit yang menusuk di dadanya ketika melihat kejadian seperti malam itu. Namun apa dikata, posisi mereka jelas berbeda.

“Maaf, mungkin saya sudah mengganggu. Saya izin masuk dahulu.” Renald tidak kuat lagi melihat air mata gadis itu dan mencoba untuk menyelamatkan hatinya. Namun, belum jauh dia berjalan ada tangan yang mendekapnya dari belakang. Sepasang tangan mungil dan wangi aroma jasmine menyeruak menenangkan hati.

“Bolehkah aku bercerita banyak padamu?” Suara gadis yang selalu membuat hatinya berdebar terdengar lemah di tengah isak tangisnya. Renald hanya bisa tertunduk, menggenggam erat tangan yang memeluknya dan mengangguk perlahan.

Sudah menjadi kebiasaan setiap senja, Alice menghabiskan waktu senjanya di taman. Jikalau Renald tidak sedang ada pekerjaan, Alice akan menceritakan banyak hal padanya. Namun, jika Renald sedang ada urusan dengan ayahnya, Alice menghabiskan senjanya dengan kamera kesayangan peninggalan ibunya. Dia mencari objek untuk mengisi blog sebagai salah satu pekerjaan yang menjadi hobbynya.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?” Alice dengan wajah bersemu merah mencoba menguak rahasia.

“Silakan, Nona Alice.” Renald mencoba mengayuh sepeda perlahan menuruni bukit di dekat rumah Tuan Eddy. Dadanya semakin berdegup kencang ketika gadis yang sedang memboncengnya memecah kesunyian sejak sepeda mereka meninggalkan halaman belakang.

“Jikalau aku memintamu untuk menjadi sahabatku, apakah kau bersedia?” Alice tampak ragu mengungkapkan keinginan hatinya. Wajahnya sedikit tertunduk.

“Tentu, Nona Alice.” Tak apa walau hanya sebagai sahabat, tidak ada salahnya, bukan? “Bahkan jika Nona meminta lebih dari itu.” Suara Renald melirih, berharap gadis pujaannya tidak mendengarnya. Namun ternyata wajah Alice semakin tertunduk dan memerah. Perlahan tapi pasti dia mengangguk.

Sepeda yang mereka naiki pun mulai melewati jalan bukit yang menurun, tangan kiri Alice pun menahan topi putih kesayangannya agar tidak terbawa angin sedangkan tangan kanannya memeluk erat pada pinggang Renald. “Wuiiiii …!” Suara Renald sembari tetap mengendalikan arah laju sepedanya.


Bantul, 23 September 2019

Sumber gambar ilustrasi Daniela Volpari 


12 comments

Tinggalkan komentar